JAKARTA
Penyelidikan kasus pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan RI (Kemhan) terus menyingkap praktik maladministrasi yang sistematis.
Keterangan yang dihimpun awak.media, Kamis (19/06/2025) menyebutkan, meski tiga tersangka telah ditetapkan, sebagian pelaku kunci yang berperan aktif dalam skema pengadaan kontroversial ini, hingga kini masih aman dari proses hukum, salah satunya oknum berinisial Kol Tek JKG dipromosikan jadi bintang di Lingkungan Kemenhan
Kontrak pengadaan satelit ini melibatkan perusahaan Navayo International AG sebagai pelaksana proyek.
Setelah penandatanganan kontrak, Navayo mengklaim telah mengirimkan barang. Klaim sepihak itu langsung dijadikan dasar penerbitan empat Certificate of Performance (CoP) oleh pejabat Kemhan tanpa pemeriksaan fisik atas barang yang diklaim sudah dikirim.
CoP ditandatangani oleh oknum Letkol Tek JKG dan Kolonel Chb M, dengan persetujuan Mayjen TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksda TNI (Purn) Leonardi. Seluruh dokumen CoP disiapkan oleh Anthony, tanpa satu pun verifikasi dari unsur pengawasan internal Kemhan.
Berbekal CoP tersebut, Navayo mengajukan invoice senilai jutaan dolar. Ironisnya, saat itu anggaran pengadaan satelit belum tersedia. Akibatnya, sengketa berlanjut ke Arbitrase Singapura yang memutuskan Indonesia wajib membayar USD 20.862.822 kepada Navayo.
Audit BPKP bahkan mencatat kerugian negara sesungguhnya mencapai USD 21.384.851,89.
Namun penyidikan Kejaksaan Agung hingga kini baru menetapkan Leonardi, Thomas Van Der Hayden, dan Gabor Kuti sebagai tersangka.
Nama-nama lain yang terlibat langsung dalam proses administratif internal Kemhan masih luput dari jerat hukum.
Beberapa nama yang ikut menandatangani, memproses, dan membiarkan skema ini berjalan hingga CoP terbit di antaranya:
Letkol Tek JKG (penandatangan CoP)
Kolonel Chb M (penandatangan CoP)
Atny (penyusun dokumen CoP tanpa verifikasi)
Beberapa pejabat aktif di jajaran pengadaan Kemhan, yang hingga kini belum diperiksa intensif.
Sumber internal Kemhan menyebutkan, “Beberapa pejabat aktif yang berperan dalam proses administrasi pengadaan, bahkan masih menduduki posisi strategis. Jika penyidikan tidak berani menyentuh ke dalam, penyelesaian kasus ini akan berhenti di level permukaan saja.”
Ahli hukum pidana menegaskan, dalam skema pengadaan negara, siapa pun yang menandatangani dokumen kinerja tanpa pemeriksaan fisik atas barang yang diklaim sudah dikirim, harus dimintai pertanggungjawaban hukum.
“CoP adalah dasar kerugian negara ini. Tanda tangan pada CoP sama artinya dengan legalisasi kebohongan. Tidak masuk akal jika hanya sebagian kecil yang diproses, sementara pejabat aktif yang ikut meneken tetap bebas,” ujar seorang pakar hukum.
Kasus ini memperlihatkan lemahnya pengawasan internal di tubuh Kemhan.
Dalam proyek strategis bernilai ratusan miliar rupiah, pengawasan seharusnya menjadi benteng terakhir.
Namun yang terjadi, prosedur diabaikan, pengawasan melemah, dan negara menanggung kerugian fantastis.
Publik kini menunggu, seberapa jauh keberanian Kejaksaan Agung memperluas penyidikan, apakah sanggup menembus tembok perlindungan jabatan, atau justru berhenti pada nama-nama yang sudah tidak lagi aktif.(red)
Poto : Istimewa