TANJUNGBALAI –
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 105/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa pejabat negara maupun institusi pemerintah tidak memiliki dasar hukum untuk mempidanakan kritik warga negara yang disampaikan secara damai dan konstitusional.
Ketentuan ini menjadi penegasan penting dalam menjaga demokrasi serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, prinsip konstitusional itu kini tengah diuji. Sorotan publik mengarah pada laporan polisi yang dibuat oleh oknum Kompol DK, seorang perwira di lingkungan Polda Sumut, terhadap sejumlah warga Tanjungbalai.
Laporan tersebut dinilai sebagai bentuk pengalihan isu atas dugaan penyimpangan dalam proses penangkapan Rahmadi — warga yang dituduh terkait narkotika namun belakangan muncul dugaan dikriminalisasi dan menjadi korban kekerasan.
Laporan Kompol DK tercatat dalam STTLP Nomor STTLP/B/1210/VI/2025 tertanggal 28 Juli 2025. Ia mengaku merasa dicemarkan nama baiknya oleh beberapa warga yang datang menyampaikan aspirasi ke Mapolda Sumut, menyoal penangkapan Rahmadi yang dinilai janggal.
Namun langkah hukum tersebut justru menuai pertanyaan luas. Banyak pihak memandang laporan itu sebagai bentuk respons defensif dan berlebihan, bahkan disebut-sebut sebagai upaya untuk melegitimasi tindakan yang sejak awal diduga menyimpang dari prinsip keadilan.
“Kalau memang proses penangkapannya sah dan sesuai aturan, kenapa harus panik lalu melaporkan masyarakat yang hanya menyampaikan kritik?” ungkap TS, tokoh pemuda Tanjungbalai, Rabu (30/7/2025).
Warga Tanjungbalai yang turut dilaporkan, di antaranya R dan J, dengan tegas membantah tuduhan provokasi maupun pencemaran nama baik.
Mereka menyatakan aksi yang dilakukan berlangsung damai, dengan membawa poster dan papan bunga sebagai bentuk protes terbuka terhadap dugaan ketidakadilan yang menimpa Rahmadi.
“Kami tidak anarkis, tidak menghina. Kami hanya ingin hukum ditegakkan tanpa pilih kasih,” tegas R.
Kuasa hukum Rahmadi, juga menilai laporan tersebut sebagai indikasi adanya tekanan balik terhadap warga yang berani bersuara.
Ia menyebut ada kejanggalan dalam penangkapan kliennya, termasuk tidak adanya barang bukti yang sah dan indikasi rekayasa kronologis.
“Laporan ini justru memperkuat kecurigaan bahwa ada upaya membungkam kritik publik. Ini berbahaya bagi iklim demokrasi,” katanya.
Pakar hukum dari Sumatera Utara, turut menanggapi persoalan ini. Menurutnya, tindakan warga yang menyampaikan aspirasi tidak dapat dikriminalisasi selama dilakukan secara damai dan tidak mengandung fitnah.
“Putusan MK jelas. Kritik damai adalah hak konstitusional warga negara. Tidak seharusnya dibalas dengan laporan pidana,” ujarnya.
Kini, publik menanti langkah Polda Sumut. Apakah institusi penegak hukum ini akan menanggapi laporan dari internalnya secara objektif, atau malah larut dalam narasi defensif untuk melindungi oknum?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menjadi tolok ukur komitmen kepolisian terhadap keadilan dan supremasi hukum.
Keadilan tidak boleh tunduk pada pangkat dan jabatan. Hukum harus berpihak pada kebenaran.(AVID)
Poto : istimewa