Subulussalam – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam kini berada di bawah sorotan tajam. Lembaga ini diduga kuat melakukan pembohongan publik terkait kondisi Sungai Lae Batu Batu, yang akhir-akhir ini menimbulkan keresahan di kalangan nelayan dan warga setempat.
Kecurigaan muncul setelah beredarnya surat dari Kepala DLHK Subulussalam yang menyatakan bahwa kualitas air Sungai Lae Batu Batu berada dalam kondisi “baik-baik saja”. Namun pernyataan tersebut dinilai bertolak belakang dengan kondisi nyata di lapangan. Dalam beberapa pekan terakhir, warga Kampong Nelayan Batu Batu dan nelayan di Kecamatan Sultan Daulat masih menemukan ikan mati dalam jumlah besar di aliran sungai tersebut (30/05).
“Karena hasil yang disampaikan DLHK ini bertentangan. Diduga prosesnya cacat prosedur dan sarat kejanggalan. Kami meragukan keabsahannya,” tegas Hasbi Bancin, salah satu tokoh masyarakat nelayan, kepada awak media.
Dua Media, Dua Narasi Berseberangan
Kebingungan publik semakin bertambah setelah dua media besar di Aceh merilis laporan yang saling bertolak belakang. Harian Serambi Indonesia, mengutip pernyataan resmi DLHK, menyebutkan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan air Sungai Lae Batu Batu “tidak tercemar”.
Namun sebaliknya, media AcehTrend.com membeberkan temuan berbeda. Dalam laporannya, AcehTrend mengungkap bahwa hingga kini pengujian terhadap residu pestisida pada sampel ikan belum dilakukan oleh Laboratorium Teknik Pengujian Kualitas Lingkungan (LTPKL) Universitas Syiah Kuala. Hal ini terjadi akibat keterbatasan bahan kimia untuk pengujian dengan metode Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS).
Bahkan, LTPKL telah melayangkan surat resmi bernomor 011/DTK-USK/LTPKL/2025 kepada DLHK Subulussalam. Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa pengujian terhadap dugaan limbah berbahaya dari aktivitas PT MSB II belum dilakukan secara menyeluruh.
Desakan Transparansi dan Sanksi Tegas
Perbedaan data antara laporan DLHK dan temuan laboratorium independen memicu kekecewaan mendalam di kalangan masyarakat nelayan. Mereka mendesak Wali Kota Subulussalam, H. Rasid Bancin, untuk segera mengambil langkah tegas dalam merespons situasi ini.
“Jika perlu, Wali Kota harus menonaktifkan Kepala DLHK Subulussalam demi menjaga netralitas penyelidikan dan memastikan proses yang transparan,” ujar salah satu warga dalam forum warga baru-baru ini.
Aktivis lingkungan pun ikut bersuara. Mereka meminta pemerintah kota segera mengeluarkan klarifikasi resmi dan terbuka, agar tidak ada ruang bagi manipulasi data yang bisa membahayakan keselamatan publik.
Menanti Kebenaran, Menanti Jawaban
Warga Subulussalam kini hidup dalam ketidakpastian. Informasi yang simpang siur hanya menambah kekhawatiran mereka terhadap potensi dampak limbah terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
Pertanyaannya kini, apakah Sungai Lae Batu Batu benar-benar aman? Ataukah publik kembali menjadi korban dari informasi yang ditutup-tutupi?
Kebenaran yang tertunda ini menunggu jawaban dari para pemangku kepentingan. Dan kini, kepercayaan publik menjadi taruhannya.
// Anton Tin